Karya-karya Immanuel Kant
Immanuel Kant bermaksud mengadakan
penelitian yang kritis terhadap rasio murni, dan Kant mewujudkan pemikirannya
tersebut ke dalam beberapa buku yang sangat penting yaitu tentang kritik. Buku-bukunya
antara lain berjudul:
a.
Kritik atas Rasio murni (kritik der reimem Vernunft) tahun 1781
Dalam kritik
ini Kant menjelaskan bahwa ciri pengetahuan adalah bersifat umum, mutlak, dan
memberi pengertian baru. Untuk itu Kant terlebih dulu membedakan adanya tiga
macam putusan. Pertama, putusan analitis “a priori” di mana predikat tidak
menambah sesuatu yang baru pada subjek, karena sudah termuat di dalamnya
(misalnya, setiap benda menempati ruang). Kedua, putusan sintesis
“aposteriori”, misalnya pernyataan"meja itu bagus", di sini predikat
dihubungkan dengan subjek berdasarkan pengalaman indrawi. Ketiga, putusan
sintesis “a priori” di sini dipakai sebagai suatu sumber pengetahuan yang
kendati bersifat sintetis, namun bersifat a priori juga. Misalnya, putusan yang
berbunyi "segala kejadian mempunyai sebabnya". Putusan ini berlaku
umum dan mutlak (jadi a priori), namun putusan ini juga bersifat sintetis dan
aposteriori, Sebab di dalam pengertian "kejadian" belum dengan
sendirinya tersirat pengertian "sebab". Maka di sini baik akal
ataupun pengalaman indrawi dibutuhkan serentak. Ilmu pasti, mekanika, dan ilmu
pengetahuan alam disusun atas putusan sintetis yang bersifat a priori ini.
Menurut Kant, putusan jenis ketiga inilah syarat dasar bagi apa yang disebut
pengetahuan (ilmiah) dipenuhi, yakni bersifat umum dan mutlak serta memberi
pengetahuan baru.
b.
Pada Taraf Indra
Dalam buku
ini unsur a priori memainkan peranan bentuk dan unsure aposteriori
memainkan peranan materi. Menurut Kant unsure a priori itu sudah
terdapat pada tarap indra.
Ia
berpendapat bahwa dalam pengatahuan indrawi selalu ada dua bentuk a priori, yaitu
ruang dan waktu. Jadi ruang tidak merupakan ruang kosong, dimana benda-benda
diletakkan; ruang tidak merupakan “ruang dalam dirinya”(ruang an sinch). Waktu
bukan merupakan suatu arus tetap, dimana pengindraan-pengindraan bisa
ditempatkan.
c.
Pada Taraf Akal Budi
Kant
membedakan akal budi (Verstand) dengan rasio (Vernunff). Tugas akal budi ialah
menciptakan orde antara data-data indrawi. Dengan kata lain akal budi
mengucapkan putusab-putusan. Pengenalan akal budi juga merupakan sintesis antara
bentuk dengan materi. Materi adalah data-data indrawi dan bentuk adalah a
priori, yang terdapat pada akal budi. Bentuk a priori ini dinamakan
Kant dengan istilah “kategori”. (Juana S. Pradja, 2000: 79). Menurut Kant ada
duabelas kategori, tetapi yang terpenting dapat disebut disini hanya dua
kategori saja, yaitu substansi dan kausalitas (sebab akiabt).
Akal budi mempunyai struktur sedemikian rupa, sehingga terpaksa mesti
memikirkan data-data indrawi sebagai substansi atau menurut ikatan sebab akibat
atau menurut kategori lainnya.
d.
Pada Taraf Rasio
Menurut
Juhaya S. Pradja, tugas rasio ialah menarik kesimpulan dari
keputusan-keputusan. Dengan kata lain, rasio mengadakan argumenasi-argumentasi.
Seperti akal budi menggabungkan data-data indrawi dengan mengadakan
putusan-putusan, demikian pula rasio menggabungkan putusan-putusan.
Kant
memperlihatkan bahwa rasio membentuk argumentasi itu dengan dipimpin tiga ide,
yaitu jiwa, dunia dan Allah. Ide menurut Immanuel Kant ialah cita-cita yang
menjamin kesatuan terakhir dalam bidang gejala psikis (jiwa), kejadian jasmani
(dunia), dan segala galanya yang ada (Allah). Ketiga ide tersebut mengatur
argumentasi kita tentang pengalaman., tetapi ketiga ide itu sendiri tidak
termasuk pengalaman kita. Karena kategori akal budi hanya berlaku pada
pengalaman, dan kategori itu tidak berlaku pada ide-ide, hal tersebutlah yang
diusahakan dalam metafisika.Bagian yang terpenting dari buku Kant yaitu Critique
on Peru Reason adalah filsafat Kant tentang transcendental aesthethic yang
merupakan transcendental philosophy. Transcendental aesthethic
membicarakan ruang dan waktu.
e.
Kritik Atas Rasio Praktis
Rasio murni
yang dimaksudkan Immanuel Kant adalah rasio yang dapat menjalankan roda
pengetahuan. Akan tetapi diasmping rasio murni terdapat rasio praktis, yaitu
rasio yang mengatakan “apa yang harus kita lakukan” atau dengan kata lain
“rasio yang memberikan perintah kepada kehendak kita”.
Kant
memperlihatkan bahwa rasio praktis memberikan perintah yang mutlak yang disebut
sebagai imperatif kategori. Kant beranggapan bahwa ada tiga hal yang
harus disadari sebaik-baiknya bahwa ketiga hal tersebut dibuktikan, hanya
dituntut, yang disebut Kant ketiga postulat dari rasio praktis. Ketiga
itu adalah kebebasa kehendak, inmoralitas jiwa, dan adanya Allah.(Juhaya
S. Pradja, 2000:82). Menerima ketiga hal tersebut dinamakan Kant sebagai Gloube
alias kepercayaan, dengan demikian Kant berusaha untuk mempengaruhi
keyakinannya atas Yesus Kritus dengan penemuan filsafatnya.
f.
Kritik atas Daya Pertimbangan
Kritik atas
Daya Pertimbangan terdiri dari sebuah pendahuluan. Kant mengemukakan delapan
pokok persoalan di antaranya adalah bagaimana cara ia berusaha merukunkan dua
karya kritik sebelumnya di dalam satu kesatuan yang menyeluruh. Bagian pertama
dari karya itu berjudul “Kritik atas daya penilaian estetis” dan terbagi
menjadi dua bagian yang terkait dengan penilaian estetis yaitu analisa daya
penilaian estetis dan dialektika daya penilaian estetis. Analisa putusan
estetis dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu analisa tentang cantik (beautiful)
dan analisa tentang agung (sublime). Kritik ketiga dari Immanuel Kant atas
rasio dan empirisme yaitu dalam karyanya critique of jidgement. Sebagai
konsekuensi dari “kritik atas rasio umum” dan “kritik atas rasio praktik” ialah
munculnya dua lapangan tersendiri yaitu lapangan keperluan mutlak dibidang alam
dan lapangan kebebasan dibidang tingkahlaku manusia.
Kritisisme
Immanuel Kant sebenarnya telah memaduakan dua pendekatan dalam pencarian
keberadaan sesuatu yang juga tentang kebenaran substanstial dari sesuatu itu.
Kant seolah-olah mempertegas bahwa rasio tidak mutlak dapat menemukan
kebenaran, karena rasio tidak membuktikan, demikian pula pengalaman, tidak
dapat selalu dijadikan tolak ukur, karena tidak semua pengalaman benar-benar
nyata dan rasional, sebagaimana mimpi nyata, tetapi “tidak real”, yang demikian
sukar untuk dinyatakan sebagai kebenaran.
Dengan
demikian, rasionalisme dan empirisme seharusnya bergabung agar melahirkan suatu
paradigma baru bahwa kebenaran empiris harus rasional sebagaimana kebenaran
rasional harus empiris. Jika demikian maka kemungkinana akan lahir aliran baru
yaitu Rasionalisme empiris.
Sumber: Abdul Hakim Atang,Drs dan Ahmad
Saebani Beni,Drs. 1984. Filsafat Umum dari Metologi Sampai Teofilosofi. Bandung:
Pustaka Setia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar