Sabtu, 31 Desember 2016

Karya-karya Immanuel Kant


Karya-karya Immanuel Kant

Immanuel Kant bermaksud mengadakan penelitian yang kritis terhadap rasio murni, dan Kant mewujudkan pemikirannya tersebut ke dalam beberapa buku yang sangat penting yaitu tentang kritik. Buku-bukunya antara lain berjudul:

a.      Kritik atas Rasio murni (kritik der reimem Vernunft) tahun 1781
Dalam kritik ini Kant menjelaskan bahwa ciri pengetahuan adalah bersifat umum, mutlak, dan memberi pengertian baru. Untuk itu Kant terlebih dulu membedakan adanya tiga macam putusan. Pertama, putusan analitis “a priori” di mana predikat tidak menambah sesuatu yang baru pada subjek, karena sudah termuat di dalamnya (misalnya, setiap benda menempati ruang). Kedua, putusan sintesis “aposteriori”, misalnya pernyataan"meja itu bagus", di sini predikat dihubungkan dengan subjek berdasarkan pengalaman indrawi. Ketiga, putusan sintesis “a priori” di sini dipakai sebagai suatu sumber pengetahuan yang kendati bersifat sintetis, namun bersifat a priori juga. Misalnya, putusan yang berbunyi "segala kejadian mempunyai sebabnya". Putusan ini berlaku umum dan mutlak (jadi a priori), namun putusan ini juga bersifat sintetis dan aposteriori, Sebab di dalam pengertian "kejadian" belum dengan sendirinya tersirat pengertian "sebab". Maka di sini baik akal ataupun pengalaman indrawi dibutuhkan serentak. Ilmu pasti, mekanika, dan ilmu pengetahuan alam disusun atas putusan sintetis yang bersifat a priori ini. Menurut Kant, putusan jenis ketiga inilah syarat dasar bagi apa yang disebut pengetahuan (ilmiah) dipenuhi, yakni bersifat umum dan mutlak serta memberi pengetahuan baru.

b.      Pada Taraf Indra
Dalam buku ini unsur a priori memainkan peranan bentuk dan unsure aposteriori memainkan peranan materi. Menurut Kant unsure a priori itu sudah terdapat pada tarap indra.
Ia berpendapat bahwa dalam pengatahuan indrawi selalu ada dua bentuk a priori, yaitu ruang dan waktu. Jadi ruang tidak merupakan ruang kosong, dimana benda-benda diletakkan; ruang tidak merupakan “ruang dalam dirinya”(ruang an sinch). Waktu bukan merupakan suatu arus tetap, dimana pengindraan-pengindraan bisa ditempatkan.

c.       Pada Taraf Akal Budi
Kant membedakan akal budi (Verstand) dengan rasio (Vernunff). Tugas akal budi ialah menciptakan orde antara data-data indrawi. Dengan kata lain akal budi mengucapkan putusab-putusan. Pengenalan akal budi juga merupakan sintesis antara bentuk dengan materi. Materi adalah data-data indrawi dan bentuk adalah a priori, yang terdapat pada akal budi. Bentuk a priori ini dinamakan Kant dengan istilah “kategori”. (Juana S. Pradja, 2000: 79). Menurut Kant ada duabelas kategori, tetapi yang terpenting dapat disebut disini hanya dua kategori saja, yaitu substansi dan kausalitas (sebab akiabt). Akal budi mempunyai struktur sedemikian rupa, sehingga terpaksa mesti memikirkan data-data indrawi sebagai substansi atau menurut ikatan sebab akibat atau menurut kategori lainnya.

d.      Pada Taraf Rasio
Menurut Juhaya S. Pradja, tugas rasio ialah menarik kesimpulan dari keputusan-keputusan. Dengan kata lain, rasio mengadakan argumenasi-argumentasi. Seperti akal budi menggabungkan data-data indrawi dengan mengadakan putusan-putusan, demikian pula rasio menggabungkan putusan-putusan.
Kant memperlihatkan bahwa rasio membentuk argumentasi itu dengan dipimpin tiga ide, yaitu jiwa, dunia dan Allah. Ide menurut Immanuel Kant ialah cita-cita yang menjamin kesatuan terakhir dalam bidang gejala psikis (jiwa), kejadian jasmani (dunia), dan segala galanya yang ada (Allah). Ketiga ide tersebut mengatur argumentasi kita tentang pengalaman., tetapi ketiga ide itu sendiri tidak termasuk pengalaman kita. Karena kategori akal budi hanya berlaku pada pengalaman, dan kategori itu tidak berlaku pada ide-ide, hal tersebutlah yang diusahakan dalam metafisika.Bagian yang terpenting dari buku Kant yaitu Critique on Peru Reason adalah filsafat Kant tentang transcendental aesthethic yang merupakan transcendental philosophy. Transcendental aesthethic membicarakan ruang dan waktu.

e.       Kritik Atas Rasio Praktis
Rasio murni yang dimaksudkan Immanuel Kant adalah rasio yang dapat menjalankan roda pengetahuan. Akan tetapi diasmping rasio murni terdapat rasio praktis, yaitu rasio yang mengatakan “apa yang harus kita lakukan” atau dengan kata lain “rasio yang memberikan perintah kepada kehendak kita”.
Kant memperlihatkan bahwa rasio praktis memberikan perintah yang mutlak yang disebut sebagai imperatif kategori. Kant beranggapan bahwa ada tiga hal yang harus disadari sebaik-baiknya bahwa ketiga hal tersebut dibuktikan, hanya dituntut, yang disebut Kant ketiga postulat dari rasio praktis. Ketiga itu adalah kebebasa kehendak, inmoralitas jiwa, dan adanya Allah.(Juhaya S. Pradja, 2000:82). Menerima ketiga hal tersebut dinamakan Kant sebagai Gloube alias kepercayaan, dengan demikian Kant berusaha untuk mempengaruhi keyakinannya atas Yesus Kritus dengan penemuan filsafatnya.

f.       Kritik atas Daya Pertimbangan
Kritik atas Daya Pertimbangan terdiri dari sebuah pendahuluan. Kant mengemukakan delapan pokok persoalan di antaranya adalah bagaimana cara ia berusaha merukunkan dua karya kritik sebelumnya di dalam satu kesatuan yang menyeluruh. Bagian pertama dari karya itu berjudul “Kritik atas daya penilaian estetis” dan terbagi menjadi dua bagian yang terkait dengan penilaian estetis yaitu analisa daya penilaian estetis dan dialektika daya penilaian estetis. Analisa putusan estetis dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu analisa tentang cantik (beautiful) dan analisa tentang agung (sublime). Kritik ketiga dari Immanuel Kant atas rasio dan empirisme yaitu dalam karyanya critique of jidgement. Sebagai konsekuensi dari “kritik atas rasio umum” dan “kritik atas rasio praktik” ialah munculnya dua lapangan tersendiri yaitu lapangan keperluan mutlak dibidang alam dan lapangan kebebasan dibidang tingkahlaku manusia.
Kritisisme Immanuel Kant sebenarnya telah memaduakan dua pendekatan dalam pencarian keberadaan sesuatu yang juga tentang kebenaran substanstial dari sesuatu itu. Kant seolah-olah mempertegas bahwa rasio tidak mutlak dapat menemukan kebenaran, karena rasio tidak membuktikan, demikian pula pengalaman, tidak dapat selalu dijadikan tolak ukur, karena tidak semua pengalaman benar-benar nyata dan rasional, sebagaimana mimpi nyata, tetapi “tidak real”, yang demikian sukar untuk dinyatakan sebagai kebenaran.
Dengan demikian, rasionalisme dan empirisme seharusnya bergabung agar melahirkan suatu paradigma baru bahwa kebenaran empiris harus rasional sebagaimana kebenaran rasional harus empiris. Jika demikian maka kemungkinana akan lahir aliran baru yaitu Rasionalisme empiris.

Sumber: Abdul Hakim Atang,Drs dan Ahmad Saebani Beni,Drs. 1984. Filsafat Umum dari Metologi Sampai Teofilosofi. Bandung: Pustaka Setia

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar