Sabtu, 03 Desember 2016

Eksistensialisme Ateis dan Religius


Eksistensialisme Ateis dan Religius
Manusia bereksistensi.  Inilah pengalaman asasi yang menunjuk ke struktur asasi manusia.  Dengan keluar dari diri,  aku menjadi aku.  Inilah yang dimaksud kalu dikatakan"manusia makhluk yang eksentris. 
Aliran aliran Eksistensialisme tidak semua berpendapat sama tentang sifat eksentris ini.  Kaum Eksistensialisme yang ateis seperti JP Sartre dan Albert Camus menolak dimensi religius Hanya dimensi horizontallah yang diakui.  Manusia untuk mereka,  berarti manusia dan dunia tidak terlepas satu sama bereksistensi lain.  Dan dunia yang dimaksud ialah dunia benda dan dunia sesama.  Perbedaan di antara kedua jenis dunia ini cukup banyak mendapat perhatian dalam scgala aliran Eksistensialisme.  Pandangan terhadap"sosialitas"  antara kaum eksistensialis juga berlain-lainan.  Dalam pandangan Sartre,  kesosialan pasti gagal.  Kegagalan ini  merupakan salah satu bukti bahwa hidup manusia tidak masuk menurut Sartre,  ini berbeda dengan pan-  akal.  Manusia adalah makhluk yang absurd.  Pandangan terletak dalam dangan Gabriel Marcel mengatakan bahwa keluhuran manusia diri. 
Dimensi religius yang ditolak dalam Eksistensialisme Sartre mendapat tempat utama dalam Eksistensial Soren Kierkegaard dan Gabriel Marcel.  Juga dalam filsafat Emmanuel Levinas tetapi Levinas tidak mau digolongkan pada kaum dalam banyak hal terdapat kemiripan.  pandangan pun gaya filsafatnya adalah makhluk yang eksentnis eksistensialis,  arti ini,  dan memperdalam relasinya seseorang baru menjadi diri dengan menyadari dan memperdalam relasinya dengan Tuhan.  Mnusia dari dirinya sendiri tidak mempunyai pendasaran yang cukup. Tuhanlah dasar keberadaan segala makhluk.
Dengan bertitik dari pengalaman asasi yaitu bahwa manusia bereksistensi,  maka arti tolak dan sifat eksentris dikembangkan dengan pembahasan terhadap tiga dimensi tersebut. Manusia adalah makhluk yang pluridimensional.  Dimensi benda,  dimensi sesama,  dimensi khas.  satu sama lain,  masing-masing dengan sifatnya yang khas.
Sumber: Adelbert, 2004. Antropologi Berfilsafat. Yogyakarta:Pustaka Filsafat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar